Musim Semi Di Rumah Kami
Hari-hari terakhir di pertengahan bulan Januari kujalani dengan
lemah tak bertenaga. Lelah yang terus bertubi tanpa jeda istirahat yang
berarti membuat jam terbangku semakin pendek saja.
Sasha
mematikan televisi setelah film kartun favoritnya selesai, melipat tikar
di depan televisi, mematikan kipas angin lalu berbaring di sebelah
kananku. Jam masih menunjukkan pukul tujuh malam tapi kami semua sudah
bersiap tidur.
Kurasa, dengan mata terpejam pura-pura tidur,
desah nafas Sasha begitu dekat. Dia tengah menatapku lekat-lekat
rupanya. Kebiasaannya sejak dulu. Entah kenapa dia seperti begitu
amazing setiap kali menatap wajahku. Kudengar, masih dengan mata
terpejam, sepertinya dia sedang tersenyum kecil. Tak lama kemudian dia
mencium keningku, lama. Seolah sambil berkata : ”I love you Mom, so
much..” Aku tetap memejamkan mata, pura-pura sudah tidur.
Tak
terasa, enam tahun lebih sudah kulalui hari-hariku bersama keluarga
kecilku. Tertinggal dari rotasi perubahan di dunia luar yang begitu
dinamis yang membuatku merasa seperti manusia purba yang hidup di era
modern seperti sekarang. Sering pula aku merasa terpenjara di sini, di
rumahku, di mana anak-anakku seolah menjadi sipirnya. Jangan tanya
betapa bosannya aku. Rasanya hampir gila aku dibuatnya. Menjalani
rutinitas yang sama dan sangat membosankan selama 24 jam dalam sehari,
tujuh hari dalam seminggu, nyaris tanpa ada libur apalagi cuti,
sepanjang 365 hari selama enam tahun lebih.
Berbagai cara kucoba
untuk melarikan diri. Dari pilihan yang kompromis hingga pemberontakan
yang agak anakhis. Tapi entahlah, semakin kucoba lari semakin aku
tersesat jauh ke dalamnya. Semua menyimpang dari rencana dan apa yang
kumau. Hingga aku terdampar di sini, di waktu ini, dengan mendapati
sebuah musim semi yang indah di rumah kami.......
Sore itu aku
memperhatikan Sasha dengan sangat seksama sambil menonton berita sore di
televisi. Sejak beberapa bulan terakhir, kulihat ada yang berbeda
darinya, dan itu sangat luar biasa. Setidaknya menurutku sebagai ibunya.
Aku menunggu cukup lama untuk bisa ”membaca” misteri Bidadari
kecilku yang sering kuanggap monster dan trouble maker itu. Dan sore itu
kutemukan jawabannya.
Sejak lama aku merasa Sasha adalah Guru
Cintaku. Ia, di usianya yang sangat belia, telah mengajariku bagaimana
mencintai dengan tulus dan penuh maaf atas cinta yang tak selalu
berbalas. Semangatnya untuk berbagi juga sangat luar biasa.
”Ma, aku minta Bagugannya tiga” katanya saat kami ajak ke sebuah toko mainan.
”Banyak sekali, satu kan cukup” kataku.
”Satu
lagi buat Mas Fatih, satunya lagi buat Husna” jawabnya sambil menyebut
dua sepupunya. Hampir setiap kali saya dan suami membelikannya mainan
atau makanan, dia meminta lebih dari satu.
Ketika
saudara-saudara kami yang lain berkunjung ke rumah, mengacak-acak
mainannya dan terkadang membawanya pulang sebagian, Sasha juga sering
tak keberatan meski terkadang di antaranya adalah mainan kesukaannya.
Dia
juga penuh cinta, yang membuatku sangat terharu. Seperti yang terjadi
pada hari ulang tahunnya yang kelima, 31 Juli tahun lalu.
”Ada
yang ulang tahun lho hari ini.....” kataku begitu ia bangun pagi itu,
hampir mendekati detik-detik di mana aku berjuang untuk melahirkannya,
lima tahun yang lalu.
”Horee...” katanya. Kupikir ia tau jika yang kumaksud adalah hari ulang tahunnya.
”Ma,
nanti pulang sekolah kita beli kado, terus malamnya ke rumah Uti.
Jalannya jinjit, jangan ribut. Terus kita dekati Mas Fatih di tempat
tidur, lalu kita teriak ’selamat ulang tahun’” katanya dengan berbinar.
”Lho, memang yang ulang tahun siapa?”
”Mas
Fatih” katanya polos. Bukan Sayang, kataku dalam hati. Dia sering
memikirkan hal yang istimewa untuk orang lain pun ketika hal istimewa
itu seharusnya adalah miliknya.
Sasha juga sebuah keajaiban, dia
antitesa dari banyak hal yang kurang dariku. Dia menyikapi, menerima
dan memaafkan kekurangan dirinya tanpa perasaan rendah diri yang
berlebihan dan sikap menyesali.
Ketika itu Sasha dan sepupunya
yang sebaya, Fatih, sama-sama memegang sebuah buku cerita. Mereka mebuat
”deal” akan membaca bersama-sama. Fatih yang memang sudah bisa membaca,
membaca buku ceritanya dengan lancar. Sedang Sasha yang ketika itu baru
mengenal beberapa huruf hanya diam saja. Mungkin karena suasana membaca
menjadi kurang menarik, Fatih berkata keras : ”Ayo baca!”.
Sasha
diam saja. Namun ketika sepupunya semakin sering dan semakin keras
menyuruhnya membaca, Sasha akhirnya menangis sambil berteriak : ”Aku gak
bisa baca!”. Lalu ia berlari ke dalam pelukanku.
”Aku gak bisa
baca tapi Mas Fatih memaksaku....” katanya dengan isak. Masih di
pelukanku. Aku terenyuh, oleh penegasan sekaligus penerimaan dan sikap
memaafkannya yang tulus akan ketidakmampuannya.
Sejak itu aku
lebih intens mengajarinya membaca namun hasilnya tidak terlalu optimal.
Aku mencoba beberapa metode pengajaran tapi sepertinya ia ingin belajar
dengan caranya sendiri. Aku hampir putus asa dan menyalahkan diri.
Berbulan kemudian, meski belum benar-benar bisa membaca, Sasha telah
”melahap” puluhan komik yang kami punya. Dia ”membaca” dengan caranya
sendiri, dari halaman pertama hingga halaman terakhir dari setiap komik.
Dia terus ”membaca” dengan senang hati yang kemudian diterjemahkannya
kembali dalam berbagai gambar yang sangat imajinatif dan kreatif seperti
yang kulihat sore itu.
Aku memperhatikan anak-anak bermain
sambil menonton berita sore di televisi. Sasha asyik menggambar di papan
tulis kecilnya. Tak sampai satu menit, kulihat dia menyelesaikan gambar
dua orang dengan mulut menyerupai paruh burung.
”Kenapa mulutnya panjang Mbak?” tanyaku penasaran.
”Orangnya sedang teriak Ma, seperti ini...Aaaa” ia menirukan mulut orang dalam gambarnya.
”Kenapa teriak?”
”Karena mereka bahagia, karena bertemu”
”Oh.....”
”Kalo
yang ini lagi marah” katanya sambil menggambar satu karakter lagi
dengan cepat. Mungkin tak sampai 30 detik dia telah menggambar satu
orang lagi dengan ekspresi sedang marah. Gambarnya begitu hidup meski tak
terlalu bagus jika dibandingkan dengan gambar profesional.
”Tapi
dia gak sungguh-sungguh marahnya..... Lihat kakinya!” tambah Sasha
sambil mempraktikkan kaki orang yang digambarnya yang menyerupai gerakan
kaki penari balet. Belum hilang ketakjubanku, dia telah menggambar
salah satu tokoh kartun favorit. Juga dengan sangat cepat.
”Ini Naruto” katanya. Lumayan mirip, gumamku dalam hati.
”Mbak Sasha bisa menggambar Bu Guru yang sedang mengajar di kelas?” tanyaku mengujinya.
”Bisa”
jawabnya dengan cepat dan yakin. Lagi-lagi dalam hitungan puluhan
detik, Bu Guru dengan latar belakang papan tulis berikut beberapa murid
yang sedang belajar sudah digambarnya. Subhanallah Sayang, inikah satu
kepingan puzzle yang Allah tunjukkan untuk melengkapi misteri gambar
kehidupanku?
Aku terus mengamati Sasha yang sudah menghapus gambar-gambarnya dan mulai menulis huruf.
”Aku
mau buat surat cinta buat Papa...” katanya. Ya, inilah hobinya yang
lain, menulis surat yang disebutnya dengan ”surat cinta”, melipatnya
dengan rapi dan biasanya dia buat dalam jumlah banyak, untuk setiap
anggota keluarga. Isinya sederhana, dengan tulisan yang kadang susah
dibaca. Misalnya : Terimakasih Mama, Terimakasih Papa, Aku Sayang
Kalian.....
Sasha masih asyik menulis huruf di papan tulisnya.
Sedang Naura, bidadari kecilku yang baru genap satu tahun, rupanya
sedang asyik membaca komik. Belum banyak yang bisa ”kubaca” dari Naura
selain kelucuannya yang teramat menggemaskan. Dia sangat ekspresif.
Aku
tertegun sambil terus mengamati dua anakku yang sangat luar biasa.
Realita tak terbantahkan untuk kusyukuri melihat mereka tumbuh dan
berkembang dengan keunikan masing-masing. Anugerah yang teramat indah.
Terlintas sebuah pemikiran dan rasa syukur di hati : Terimakasih Allah,
telah mengamanahkan mereka padaku. Anak-anak yang sehat dan lucu,
penyejuk mata dan hatiku, yang semoga kelak akan menjadi perisaiku dari
api neraka, yang akan mengantarku ke syurga dengan kesalihan mereka.
Aamiin.
.............
Kepingan ”puzzle” yang kudapat
semakin hari semakin banyak. Lebih dari cukup seharusnya, untuk
menemukan satu jawaban besar agar tak lagi mengeluh. Bukan tak ada
alasan mengapa Allah ”memenjarakanku” di istana kecilku hingga sekarang?
Mengapa Ia selalu menunda keinginanku untuk bebas lepas meraih bintang
impianku? Mengapa lintasan yang kulalui begitu panjang dan sepi?
Dan jawaban besar yang kudapat adalah : inilah yang terbaik untukku, lebih baik dari yang kumau.
Musim
dingin yang mencekam yang seolah akan membekukan pembuluh darah, mulai
beranjak pergi. Salju-salju mulai berjatuhan dari atap rumah. Matahari
mulai hangat dan semakin hangat menyinari. Musim semi yang indah telah
menanti, di rumah kami......